Foto: kompas
Potensi Besar Mete Di Pasar Global
Jambu mete merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki peran strategis dalam pembangunan agribisnis.
Dilansir dari ditjenbun.pertanian.go.id, mete sendiri termasuk dalam produk kacang-kacangan yang banyak diminati di pasar internasional dan dianggap sebagai komoditas mewah jika dibandingkan dengan kacang tanah atau almond.
“Permintaan pasar untuk kacang mete dan gelondong mete masih sangat besar. Era globalisasi dan perdagangan bebas menjadi tantangan sekaligus peluang besar bagi pengembangan komoditas ini, mengingat sebagian besar produk jambu mete di Indonesia diekspor,” kata Andi Nur Alam Syah, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.
Data menunjukkan, nilai ekspor produk mete dari Indonesia antara tahun 2017 hingga 2020 rata-rata mencapai US$ 119,938.25 setiap tahunnya. Pada 2020, volume ekspor gelondong mete dan kacang mete tercatat mencapai 85.584 ton dengan nilai sebesar US$ 149.75 juta.
Andi Nur juga menegaskan bahwa jambu mete memiliki potensi besar, dan produk olahannya semakin diminati di pasar global.
Selain menjadi bahan baku industri makanan, Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) dari jambu mete juga banyak digunakan dalam industri otomotif (seperti kanvas rem dan serbuk friksi), industri konstruksi (sebagai anti karat), hingga pakan ternak.
Selain itu, jambu mete merupakan tanaman yang cocok ditanam di lahan kering dan marginal, terutama di wilayah Indonesia Timur. Tanaman ini berpotensi besar untuk membantu mengurangi angka kemiskinan di daerah tersebut.
Pengembangan jambu mete di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh perkebunan rakyat, sekitar 99,71% dari total area penanaman. Pemerintah terus berupaya menarik minat investor besar agar agribisnis jambu mete dapat berkembang dengan akses pasar yang lebih luas.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, pada tahun 2020, area penanaman jambu mete di Indonesia mencapai 479.726 hektare dengan produksi sebanyak 165.868 ton.
Namun, pengembangan jambu mete juga menghadapi beberapa tantangan. Di sisi on-farm, terdapat kendala seperti penggunaan benih berkualitas rendah, lingkungan yang kurang optimal, penerapan teknologi budidaya yang masih minim, serta adanya serangan hama dan penyakit.
Sedangkan di sisi off-farm, lahan pertanian sering beralih fungsi menjadi pemukiman atau komoditas lain, yang berdampak pada penurunan luas areal tanam.
Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai penghasil jambu mete dibandingkan negara lain, seperti waktu panen yang berbeda dari negara produsen lain (November hingga Desember di Indonesia, sementara negara seperti India, Vietnam, dan negara Afrika panen pada Februari hingga April).
Letak geografis Indonesia juga lebih dekat ke Vietnam dan India, yang menjadi negara pengolah gelondong mete terbesar, sehingga biaya transportasi menjadi lebih rendah.
Meski memiliki keunggulan ini, petani mete Indonesia belum sepenuhnya menikmati manfaatnya karena posisi tawar yang rendah. Keterbatasan modal sering membuat petani harus segera menjual hasil panen mereka dengan harga yang kurang menguntungkan.
Pemerintah pun terus berupaya memberikan dukungan kepada petani jambu mete, termasuk melalui regulasi yang melindungi hak dan kewajiban petani dan pelaku usaha perkebunan.
Di tingkat pembibitan, Kementerian Pertanian bersama dengan Pemerintah Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, sejak 2019 telah membangun nursery untuk menghasilkan benih jambu mete berkualitas unggul.
Pada tahun 2022, Nursery Bombana menghasilkan 100.000 batang benih jambu mete yang terdiri dari 82.000 batang seedling dan 12.000 batang grafting, dengan varietas populasi Muna yang siap digunakan untuk area pengembangan seluas 900 hektare di Sulawesi Tenggara.
Selain itu, program pengembangan jambu mete dari penelitian hingga pengembangan terus dilakukan agar lebih efektif dan efisien dalam mengelola usahatani.
Teknologi peningkatan produksi dan mutu produk juga terus dikembangkan untuk memastikan produk jambu mete dapat bersaing di pasar global.
Pemerintah juga mendorong petani meningkatkan produktivitas dengan menerapkan teknologi sambung pada kegiatan pembibitan dan penanaman, yang memiliki tingkat keberhasilan hingga 80%.
“Ke depannya, diharapkan produk jambu mete Indonesia memiliki kualitas yang semakin baik, nilai tambah yang tinggi, serta akses pasar yang lebih luas.
Dengan dukungan benih bersertifikat, harga yang saling menguntungkan, dan pengelolaan yang optimal, tantangan di lapangan dapat diatasi sesuai ketentuan yang berlaku,” tutup Andi Nur.