Desa Sedahan Jaya Jadikan Nira Sebagai Sandaran Hidup Desa Sedahan Jaya Jadikan Nira Sebagai Sandaran Hidup

Foto: okezone

  • RAA
  • Jumat, 29 November 2024 - 10:46 WIB

Desa Sedahan Jaya Jadikan Nira Sebagai Sandaran Hidup


Di sudut Desa Sedahan Jaya, Kalimantan Barat, Sabriyan dengan tekun mengaduk cairan nira dalam kuali besar.

Dilansir dari antaranews.com, warna cairan itu mulai berubah menjadi cokelat pekat, tanda prosesnya berjalan sesuai harapan. Sesekali, pria berusia 35 tahun ini menambah kayu bakar di tungku, memastikan bara api tetap stabil agar hasilnya sempurna.  

“Kalau berhenti diaduk atau apinya tidak stabil, gula merahnya bisa gagal jadi,” ujarnya sambil mengenang pengalaman pahit ketika 10 liter air nira terbuang sia-sia karena ia meninggalkannya dengan api yang hampir padam.  

Air nira yang diperoleh Sabriyan berasal dari pohon enau (Arenga pinnata) yang tumbuh liar di kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP).

Setiap pagi dan sore, ia memanen nira dari tiga batang pohon enau. Dari hasil panen harian yang mencapai 10 hingga 15 liter, ia mampu menghasilkan gula merah yang cukup untuk menunjang perekonomian keluarganya.  

Air nira harus segera dimasak setelah dipanen. Jika dibiarkan terlalu lama, cairan ini akan menjadi asam dan tidak lagi dapat diolah menjadi gula merah.

Proses memasak membutuhkan waktu hingga lima jam, memastikan teksturnya mengental sempurna sebelum dicetak menjadi gula merah.  

Kelompok Petani Aren Jaya Aren Makmur 
Sabriyan bukan satu-satunya petani nira di Desa Sedahan Jaya. Bersama 14 anggota lainnya, ia tergabung dalam kelompok petani bernama Jaya Aren Makmur yang menjadi mitra Balai TNGP. Kelompok ini dilatih dan diberdayakan untuk mengolah hasil hutan non-kayu, seperti gula aren, sebagai bagian dari upaya pelestarian kawasan hutan.  

Sahrani, salah satu anggota kelompok, memanen nira dari empat batang pohon enau setiap hari.

Dengan hasil sekitar 15 liter nira per hari, ia mampu menghasilkan 8 kilogram gula merah yang dijual dengan harga Rp20 ribu per kilogram.

Dalam sebulan, pendapatannya bisa mencapai Rp3 juta, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.  

Ketua kelompok, Abu Sulai, menjelaskan bahwa total produksi gula merah dari desa ini bisa mencapai 120 kilogram per hari. Hasil produksi tersebut sering kali dijual langsung ke pembeli atau melalui ketua kelompok untuk dipasarkan lebih luas, seperti ke Sukadana.  

Harmoni Antara Kehidupan dan Alam
Desa Sedahan Jaya berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Palung, yang memiliki luas 108.043 hektare dan menjadi rumah bagi berbagai ekosistem serta satwa liar, termasuk orangutan dan bekantan.

Warga desa yang tergabung dalam kelompok petani diberi akses untuk memanfaatkan hasil hutan non-kayu di zona tradisional taman nasional, seperti gula aren, buah-buahan, dan rebung.  

Namun akses ini tidak tanpa tanggung jawab. Anggota kelompok diwajibkan menjaga kelestarian hutan dengan tidak merambah kawasan, tidak berburu satwa, serta merawat kebun aren dan durian yang dikelola. Dalam praktiknya, mereka diajarkan untuk hidup selaras dengan alam, memastikan pemanfaatan hasil hutan berjalan lestari tanpa merusak lingkungan.  

Membangun Keberlanjutan
Melalui pendekatan pemberdayaan ini, masyarakat Desa Sedahan Jaya tidak hanya memperoleh manfaat ekonomi, tetapi juga menikmati kualitas lingkungan yang terjaga. Hutan berfungsi sebagai penyerap karbon, membantu memerangi perubahan iklim, sekaligus menyediakan udara dan air bersih bagi warga.  

Kisah di Desa Sedahan Jaya menjadi contoh nyata bagaimana kelestarian hutan dapat berjalan seiring dengan keberlangsungan ekonomi masyarakat. Model seperti ini dapat diterapkan di berbagai wilayah lain, menciptakan harmoni antara manusia dan alam demi masa depan yang berkelanjutan.