Foto: niagaasia
Kementerian Perindustrian Terus Dorong Produksi Kakao Lokal
Sektor pertanian memegang peran penting dalam perekonomian Indonesia. Negara ini semakin mampu menunjukkan kekuatannya di mata dunia berkat kemajuan sektor pertanian yang terus berkembang.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, salah satu produk unggulan dari sektor pertanian Indonesia adalah kakao, yang tidak hanya menguntungkan petani, tetapi juga meningkatkan devisa negara.
Kakao menjadi salah satu komoditas perkebunan yang berkontribusi besar dalam perdagangan Indonesia. Namun, di tengah potensi besar tersebut, sektor ini kini dihadapkan pada tantangan serius.
Belakangan, beberapa komoditas pertanian mendapat sorotan karena dituding berkontribusi pada deforestasi. Pada 6 Desember 2022, Komisi Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang (UU) produk bebas deforestasi.
Setelah diimplementasikan, UU ini akan memblokir pasokan produk yang dianggap berkontribusi pada deforestasi dan degradasi lahan, termasuk beberapa komoditas pertanian Indonesia.
Kebijakan ini merupakan bagian dari The European Green Deal (EGD), yang bertujuan mencapai netralitas karbon pada tahun 2050 dan menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 55% pada tahun 2030.
Dampak dari undang-undang ini jelas terasa pada komoditas pertanian di Indonesia, termasuk kakao.
Pada 2021, sektor pertanian Indonesia tumbuh sebesar 1,84%, memberikan kontribusi sebesar 13,28% terhadap perekonomian nasional.
Sementara pada pertengahan 2022, sektor ini tetap tumbuh positif sebesar 1,37%, dengan kontribusi sebesar 12,98%.
Subsektor perkebunan sendiri mencatat kontribusi rata-rata 3,51% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) antara tahun 2016 hingga 2021, lebih tinggi dibanding subsektor lain seperti tanaman pangan, peternakan, dan hortikultura.
Ada tujuh komoditas pertanian Indonesia yang menghadapi tantangan masuk ke pasar Uni Eropa akibat aturan baru ini.
Salah satunya adalah kakao, bahan baku cokelat yang sangat diminati di Eropa. Meski Uni Eropa mengeluarkan kebijakan pembatasan ini, ironisnya mereka tetap menjadi konsumen besar produk kakao. Pada 2022, impor kakao Uni Eropa mencapai US$ 7,41 miliar, menjadikan Indonesia salah satu pemasok utama.
Beberapa perusahaan cokelat besar dunia, seperti Lindt & Sprüngli AG dan Nestlé SA, juga turut mengimpor kakao dari Indonesia. Industri pengolahan kakao di Indonesia cukup besar, dengan beberapa pabrik besar seperti Mars, Cargill, dan Nestlé memiliki fasilitas di Indonesia.
Subsektor perkebunan, khususnya kakao, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, berkontribusi 19,08% terhadap lapangan kerja.
Neraca perdagangan subsektor ini juga positif sejak 2015 hingga 2019, meski produk olahan yang diekspor sebagian besar masih dalam bentuk mentah atau setengah jadi, yang menyebabkan nilai tambahnya belum maksimal.
Indonesia menempati posisi ketiga sebagai produsen kakao dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana.
Meski volume impor kakao Indonesia lebih kecil dibanding ekspornya, tren impor kakao terus meningkat setiap tahun. Pada periode 2011-2020, pertumbuhan nilai ekspor kakao Indonesia bernilai negatif, namun impor justru meningkat signifikan, mencapai puncaknya pada 2019.
Negara tujuan ekspor utama kakao Indonesia antara lain Malaysia, Amerika Serikat, India, dan Tiongkok. Selain itu, ada potensi pasar baru di benua Afrika, seperti Mesir, yang tertarik dengan produk cocoa powder dari Indonesia.
Kementerian Perindustrian terus mendorong pengembangan industri pengolahan kakao agar lebih kompetitif di pasar global. Sektor ini diharapkan bisa memberikan kontribusi yang lebih besar lagi dalam mendukung perekonomian Indonesia.