Foto: kompas
Agroforestri Kopi Sebuah Langkah Konservasi Bermanfaat
Agroforestri kopi telah dipilih sebagai salah satu langkah konservasi yang bermanfaat, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan.
Masyarakat mampu memperoleh tambahan pendapatan dari pengolahan biji kopi tanpa perlu menebang pohon, yang pada akhirnya membantu melestarikan cadangan karbon dan menjaga air tanah.
Selama ini, hutan rakyat biasanya hanya dimanfaatkan untuk tanaman kayu dan rumput sebagai pakan ternak.
Dilansir dari sustainable-landscape.org, menurut Widodo, Kepala Desa Tlogolele, penanaman kopi di kawasan hutan tidak hanya memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat, tetapi juga membantu melestarikan hutan, mencegah terjadinya kerusakan, serta menghindari hutan menjadi gundul.
Upaya Konservasi melalui Agroforestri Kopi di Merapi
Pada 5 Juni 2017, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Business Watch Indonesia (BWI), bekerja sama dengan Solidaridad dan Kelompok Tani Hutan (KTH) Kepengen Maju, memulai penanaman kopi arabika secara agroforestri di kawasan Merapi.
Penanaman ini merupakan bagian dari upaya konservasi dengan tujuan melindungi hutan Merapi. Agroforestri rencananya akan diterapkan di lahan seluas 500 hektar di hutan rakyat Merapi, termasuk di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali, sebagai bagian dari program "Lanskap Merapi Berkelanjutan."
Agroforestri kopi memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan manfaat ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sistem ini juga membantu mempertahankan cadangan karbon dan air dalam lanskap, yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Kopi Merapi dan Transformasi Pertanian
Pada masa kolonial, kawasan Merapi dikenal sebagai salah satu sentra perkebunan kopi di wilayah Sleman (Yogyakarta), Klaten, dan Boyolali (Jawa Tengah).
Pemerintah bahkan mengembangkan budidaya kopi secara intensif di daerah ini pada tahun 1984 dan 1992. Namun, luas lahan perkebunan kopi di Merapi mengalami penurunan akibat erupsi gunung dan alih fungsi lahan menjadi pertanian sayur dan tembakau.
Pengolahan kopi yang kurang diperhatikan pada masa itu membuat para petani cenderung menjual kopi dalam bentuk biji mentah, yang menyebabkan produk kopi mereka kurang kompetitif. Pada tahun 1995, banyak petani di kawasan Merapi beralih dari menanam kopi ke sayuran dan tembakau.
Perkembangan Pasar Kopi Arabika
Meski produksi kopi robusta masih mendominasi di Indonesia, permintaan terhadap kopi arabika terus meningkat karena cita rasanya yang lebih kompleks dan aromanya yang khas.
Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2016, lebih dari 1,2 juta hektar lahan di Indonesia digunakan untuk menanam kopi, dengan 90 persen dikelola oleh petani kecil.
Dari total produksi kopi Indonesia, robusta menyumbang sekitar 73%, sementara sisanya merupakan kopi arabika. Meskipun demikian, produksi kopi arabika terus bertumbuh karena pasar global lebih menyukai rasa dan kualitasnya.
Kembali ke Agroforestri untuk Kopi yang Berkelanjutan
Dengan meningkatnya konsumsi kopi dunia, para petani didorong untuk meningkatkan produksi mereka.
Meskipun budidaya kopi awalnya dilakukan di bawah naungan pohon-pohon hutan, tren monocropping—di mana kopi ditanam secara tunggal tanpa naungan—telah meningkat.
Namun penelitian menunjukkan bahwa sistem monocropping ini membawa banyak kerugian, seperti kerentanan tanaman kopi terhadap suhu ekstrem dan hama, serta degradasi tanah.
Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan pun menjadi tidak terhindarkan, sehingga meningkatkan biaya produksi.
Kini banyak petani kopi kembali menggunakan sistem agroforestri, di mana kopi ditanam di bawah naungan pohon-pohon lain.
Pohon naungan tidak hanya melindungi tanaman kopi dari panas berlebih, tetapi juga membantu menjaga kelembaban tanah dan mengurangi risiko erosi.
Dengan begitu petani juga mendapatkan manfaat dari produk lain yang dihasilkan pohon-pohon tersebut, memberikan sumber pendapatan tambahan selain kopi.